Sabtu, 14 Agustus 2010

cerpen

WENING

Aku tidak ingat kapan dia mulai bergabung di rumah kami. Ketika dia datang aku belum tahu apa-apa. Yang kutahu kemudian adalah bahwa dia anak dari kakak perempuanku yangmeninggal sesaat setelah melahirkan. Jadi dia keponakanku. Tapi dia tidak pernah memanggilku Om, Paman, Uncle, atau apapun panggilan dari seorang keponakan. Dia memanggilku kakak karena memang kemudian Mama dan Papa menjadikannya anak, bukan cucu. Adikku tepatnya. Kami tumbuh bersama dalam balutan kasih sayang yang tak membedakan. Siapapun pasti tidak pernah mengira bahwa dia bukanlah adikku yang sebenanya. Dia adalah keponakannku.

Hidungnya mancung sama seperti hidungku, kulitnya kuning langsat sama seperti kulitku. Gigi putihnya rata sama seperti gigiku. Rambutnya, dagunya, tangannya, tinggi tubuhnya semuanya mirip denganku. Yang membedakan adalah bahwa aku laki-laki dan dia perempuan. Itu saja.
Kami tumbuh dari air susu yang sama. Hubungan kami sangat dekat. Dia cerdas dan berani. Tapi sangat patuh pada Mama dan Papa. Kadang aku dibuat kesal juga dengan sikapnya yang menurutku terlalu penurut. Tapi bagaimanapun dia selalu membantuku saat aku dalam kesulitan.
“Ning hari ini aku bolos les ya. Aku mau nonton di stadion. Tapi jangan bilang Mama”
“Mana bisa begitu?” matanya yang bulat melebar.
“Please sekali ini saja”
“ Masalahmu sudah banyak kak. Jadi jangan cari masalah baru”
“ Ini tidak akan menjadi masalah asal kamu tidak lapor Mama” aku mengedipkan sebelah mataku dan mencolek pipinya pelan “ aku berangkat sekarang ya, bye” Aku sedang tidak ingin mendengar ocehannya, jadi aku segera melesat ke tempat parkir dan menghilang dari pandangannya bersama asap knalpot yang membumbung di udara.
Ada semacam candu yang menyeretku untuk kembali dan kembali lagi ke stadion. Sekarang sedang musim pertandingan dan aku tidak ingin melewatkan kemenangan tim jagoanku. Rumus matematika yang begitu rumit di sekolah maupun di tempat les sejenak kulupakan. Kubiarkan juga ocehan dan bujukan Wening mengambang di udara, hilang bersama angin semilir yang mengantarkanku menyambut mimpi. Hasilnya sungguh menakjubkan. Sebuah angka merah terpajang manis dibelakang namaku begitu hasil ujian sementara diumumkan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Gulai sudah terlanjur menjadi basi.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang membosankan. Daun-daun jarak kepyor di halaman berguguran ditiup angin, berubah warna menjadi kuning kecoklatan, menyentuh tanah lembab lalu membusuk. Aku dan Wening pun tumbuh terus seperti juga pohon mangga dibelakang rumah yang tak pernah absen menghasilkan buah setiap musim panen.
Rasanya baru kemarin kami berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Rasanya baru kemarin aku melihat matanya melotot karenan aku meninggalkan kelas dan memilih pergi kencan. Rasanya baru kemarin… akh.
Bulan depan aku akan menikah, dan mungkin tidak lama sesudahnya aku akan menjadi bapak. Anak kecil yang lucu selalu akan menyambut setiap aku pulang kerja. Berlarian dengan kaki-kaki kecil yang montok dan berteriak….
“Papa… mana topi yang Papa janjikan” dan hup aku akan mengangkatnya tinggi lalu sepasang tangan kecil itu memeluk leherku hangat. Oh indahnya. Tapi itu baru sebatas impian. Impian yang mungkin akan berakhir ketika sang pemimpi membuka mata. Atau impian yang tidak akan pernah jadi nyata karena sang pemimpi tidak berani bangun menatap dunia dan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Tidak seorangpun dari keluargaku menyetujui calon istri yang kusodorkan. Mama, kakak, Tante, ipar atau siapapun tidak ada yang setuju. Seandainya Papa masih hidup, mungkin Papalah yang akan bersedia membela keputusanku. Sayangnya Papa telah pergi bersama kabut kelam dan hujan tangis pada suatu malam pekat saat aku masih duduk di bangku SMA.
Satu-satunya orang yang kuharapkan kini adalah Wening . Sejak tadi dia hanya diam mendengarkan kicauan bernada buruk dari saudara-saudara yang lain.
“ Saya rasa kita harus mendukung keputusan kak Dinar” kata-kata itu meluncur dari bibir tipisnya dengan sangat tenang. Tanpa riak. Itulah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Sejak pertama kali duduk dan dibombardir dengan ucapan-ucapan yang menciutkan nyali.
“Apa? Tidak! Tante tidak setuju keponakanku yang tampan dan perkasa ini beristrikan perempuan macam dia. Apa kata orang-orang nanti melihat pangeran bersanding dengan itik buruk rupa. Macam lelaki tak laku saja” Tante Irma mengoceh terus seperti air yang mengalir dari ember bocor. Terus dan terus.
“ Kamu ini tampan, berpendidikan, punya kedudukan dan berasal dari keluarga terpandang. Nyaris sempurna, jadi tidak pantas kamu beristrikan perempuan seperti itu” suaranya masih berapi-api. Sebenarnya aku geram sekali, tapi aku masih tetap diam mendengarkan.
“Apa kamu tidak sanggup cari gadis lain yang lebih tinggi kualitasnya? Apa perlu Tante yang mencarikan? Apa di kantormu benar-benar kekurangan gadis cantik?” mata Tante Irma menyala seperti mata kucing.
“Tante…” kulihat Wening mulai menggerakkan bibir, tapi…
“Diam….” Tante Irma mengangkat tangannya “kamu tida lebih handal dari dia”
Aku benar-benar berang kini.
“Tante cukup… cukup. Kalau Tante merasa kita ini adalah orang terpandang, orang berpendidikan seharusnya Tante tidak mengucapkan ucapan serendah itu. Maaf sebelumnya, dikantor saya dan di tempat lain memang bertebaran gadis-gadis cantik. Tapi cantik saja tidak membuat saya tergoda. Dunia ini hampir dipenuhi wanita cantik, tapi apakah dunia akan juga cantik bila masih banyak orng yang saling merendahkan…”
Mama tiba-tiba memotong kalimatku,
“Dinar sebenarnya begini, Tantemu tidak bermaksud merendahkan seperti itu. Kami semua sangat menginginkan yang terbaik untukmu, jadi jangan salahkan kalau kami sangat selektif”
“Tapi selektif tidak harus merendahkan seperti itu Ma. Lagi pula masa menilai seseorang buruk hanya karena dia tidak memiliki fisik yang cantik sesuai keinginan kalian. Yang akan menikah itu Dinar Ma. Dan Dinar mencintai Tyas bagaimanapun keadaannya”
“Mama tahu, tapi ingatlah Dinar, kita hidup di jaman realistis dimana setiap orang saling memandang dan menilai. Istri itu kedudukannya sama seperti cat yang akan menghiasi tembok rumahmu dan menyulapnya jadi lebih indah. Jadi kalau catnya saja sudah jelek bagaimana kami bisa menjamin rumahmu akan jadi indah” Mama beranalogi.
Intinya beliau tidak setuju dengan keputusanku. Kulihat kepala-kepala di ruangan ini mengangguk-angguk seperti kepala burung yang puas karena mendapat banyak makanan. Huh!
Wening angkat bicara.
“Ma, Tante, Om semuanya, maaf Wening terpaksa lancang bicara. Kita seharusnya memang tidak menilai sesuatu dari luarnya saja. Kita perlu mengenalinya lebih dalam. Benar kata Mama bahwa kita hidup di jaman yang realistis, karena itu coba kita berpikir lebih realistis lagi, apakah rumah yang tampak cantik dan indah akan tetap jadi indah jika isinya berantakan dan tak terurus atau penghuninya adalah orang-orang yang tak beraturan. Mustahil bukan. Begitu pula dengan calon istri pilihan kak Dinar. Mungkin secara fisik dia memang tidak cantik tapi siapa tahu hatinya benar-benar cantik. Cantik fisik dapat dibuat dalam sekejap karena salon kecantikan dengan alat modern mampu merubah, merombak bahkan mencipta sosok cantik sesuai keinginan. Tapi salon hati memerlukan waktu yang lebih lama untuk merubah kecantikan dalam. Inner beauty. Siapa akan tahu bila nantiya Tyas justru adalah orang yang akan mengurus dan mendampingi Mama sampai Mama harus pergi dan meninggalkan kami semua.”
Sampai disitu Wening berhenti. Belum ada respon yang muncul.
“Satu hal lagi yang penting. Kak Dinar begitu mencintai Tyas, demikian pula sebaliknya. Semoga hal itu bisa menjadi landasan kebahagiaan rumah tangga mereka kelak”
Aku menarik nafas lega.
“Tapi Ning, itu kan baru perkiraanmu. Juga harapan Dinar. Kalian juga tidak tahu kan yang sebenarnya. Jika nanti kenyataan tidak sesuai harapan bagaimana? Pernikahan bukanlah sebuah ajang coba-coba” Mama menatapku dan Wening berganti-ganti.
Wening tersenyum. Kemudian,
“Justru karena kita belum tahu yang sebenarnya Ma, penilaian kita selama ini kan sebatas penilaian luar. Banyak kemungkinan melesetnya. Wening yakin kak Dinar telah memikirkan semua resiko terburuk sebelum mengambil keputusan. Wening harap semua bisa mengerti dengan pilihan kak Dinar. Mudah-mudahan inilah yang terbaik untuk keluarga kita” Wening memeluk bahu Mama lembut.
Ajaib.
Semua seolah tersihir dengan kata-kata yang Wening ucapkan. Mama seperti biasa luluh dengan kesungguhan Wening . Tante, Om, ipar dan yang lainnya tidak lagi memiliki kekuatan untuk memuntahkan kata-kata yang menyudutkannku. Semua menjadi aman terkendali. Untung ada Wening .
Akhirnya aku menikah. Diiringi tatapan heran orang-orang setiap kali melihat kebersamaanku dan Tyas. Aku tak perduli, yang jelas aku mencintainya meski dia tidak secantik teman-teman wanitaku serta tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan keluagaku. Nampaknya itulah alasan konyol yang sering mereka lontarkan. Menjadikan hari-hari Tyas kelam saat telah benar-benar menjadi istriku.
“Aku seperti duduk diatas kursi bara setiap kali mendengar saudara-saudaramu membicarakanku” keluh Tyas tiap kali menghadapi penolakan yang dialaminya. Ketenangan seperti menyimpan bom waktu yang kapanpun dapat meledak dan meluluh-lantakkan apa saja yang ada disekitarnya. Aku menghela nafas berat.
Akhirnya waktu itu pun tiba, tidak dapat dicegah lagi, Tyas memaksakan diri keluar dari kehidupanku. Meninggalkan kursi bara yang membuat hati dan perasaannya melepuh. Apa yang bisa kulakukan kini? Sedang kata-kata dan keyakinan dariku tidak mampu menahan langkahnya.
Aku nyaris ambruk, tertimbun cela dan hinaan yang kembali membombardir seluruh syaraf tubuhku. Aku lemah, rapuh dan terkulai seperti daun-daun yang terpaksa meninggalkan ranting pohon karena dihempas badai. Namun lagi-lagi Wening orang yang pertama mengulurkan tangan. Menyangga nadiku dalam satu senyum yang begitu sejuk.
Wening , entah sudah berapa puluh kali dia masuk ke dalam jantung dan memompa darahku kembali. Memoriku mendadak berputar kemasa-masa sebelumnya. Merakit setiap kejadian yang terjadi di halaman kehidupanku. Hampir di setiap kejadian yang menegangkan selalu terselip satu nama. Wening .
Aku ingat bagaimana dia membelaku dengan argumentasinya yang muda ketika suatu siang aku pulang sekolah dengan wajah lebam dan celana seragam robek. Dia begitu meyakinkan Mama bahwa itu hanyalah gejolak darah muda seorang lelaki remaja yang tidak dapat menerima penolakan. Pembelaannya membuatku terbebas dari hukuman yang mengerikan. Sekolah tanpa uang saku sepeserpun selama satu semester.
Aku juga ingat bagaimana dia melindungiku dari amukan kakak ipar saat suatu malam aku pulang hampir pagi dengan tubuh sempoyongan dan bau alkohol menyengat. Dia pulalah satu-satunya orang yang mendukungku dan meyakinkan seluruh keluarga saat mereka semua menolak calon istri yang kubawa.
Lengking kereta api dikejauhan menyadarkanku dari mimpi buruk tak berkesudahan. Dan Wening , Entah apalagi yang akan dilakukannya untukku besok. END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar