Jumat, 30 Juli 2010

cerpen


HALLO ANICCA !


Aku gadis berusia 20 tahun dan berasal dari sebuah keluarga yang sangat harmonis. Aku beruntung di lahirkan sebagai anak bungsu dari empat bersaudara sehingga mendapat limpahan kasih sayang tak terbatas dari orang tua dan kakak-kakaku. Keadaan inilah yang membuatku tumbuh menjadi gadis periang yang manja.
Tidak berapa lama setelah aku berulang tahun yang ke 17 aku berkenalan dengan seorang pemuda yang kemudian kuputuskan ku jadikan sebagai teman dekat, pacar tepatnya. Ketika itu aku masih kelas tiga SMA, tampaknya teman-teman di sekelilingku pun semuanya telah memiliki pacar, begitulah kesimpulanku. Saat kami berkenalan Dion berusia dua tahun di atasku, dia berada di tahun kedua di perguruan tinggi. Kami bertemu pada kegiatan donor darah yang di adakan di Wihara dimana saat itu dia terlibat dalam kepanitiaan.
Itu adalah donor darah ku yang pertama, maklumlah selama ini meskipun sangat ingin usiaku belum memenuhi syarat untuk menjadi seorang pendonor. Jujur aku ketakutan saat sudah berada di ruangan dan melihat bagaimana proses pengambilan darah. Mama menyentuh tanganku yang dingin. Kurasakan dahiku mulai berkeringat.
“Jangan tegang Vi…nanti darahnya susah keluar..” Mama menggenggam tangan ku. “ Coba tarik nafas panjang pelan-pelan” sekali lagi Mama berbisik. Aku mengikuti saran Mama sambil mengamati seorang cowok yang dengan sangat cekatan membantu petugas PMI menutup bekas jarum di lengan para pendonor dengan handsaplas.
“Kalau belum berani ga donor juga ga Papa Vi” Mama menatap ku khawatir.
“Viana berani kok ma” aku berbisik di telinga Mama “ Cuma sedikit grogi”
Sebenarnya ingin sekali membatalkan niat untuk donor kalau saja tidak ingat Mama sudah donor hampir 15 kali. Malu donk sama Mama. Keberanianku kali ini akan meyakinkan semua orang, terutama Mama kalau mulai sekarang aku bukan lagi Viana kecil yang manja dan cengeng. Aku harus berani.
Rasanya Jantungku berdetak sepuluh kali lebih cepat dari biasanya ketika aku berbaring di atas ranjang PMI. Mama berdiri di samping ranjang sebelah kiri.
“Santai aja ga sakit kok” cowok tadi berkata sambil tersenyum ketika melihat ku. Mungkin wajahku kelihatan ketakutan sekali. “rasanya Cuma seperti di gigit semut” lanjutnya.
“Maklumlah baru pertama, jadi agak grogi” Mama yang menjawab.
“O… “ dia menjawab maklum” jangan di lihat jarumnya kalau takut” lanjutnya.
“Ouw….” Aku menjawab dengan jeritan bersamaan dengan jarum yang menyentuh kulitku.
Beberapa pasang mata menoleh kearahku termasuk cowok tadi. Huh malunya.
“ Jangan tegang dek,, genggamannya di lepas…” petugas PMI membetulkan posisi lengan ku. Aku tidak berani membuka mata saat kurasakan sesuatu keluar meninggalkan tubuh ku. Darah. Selama sepuluh menit tangan kiriku terus saja memeluk lengan Mama. Untung Mama ada.
“Gimana rasanya? Sakit tidak?” tanya cowok itu ketika kami mendekat. Jelas dia tengah mengoda.
“Lumayan…” jawabku sembari meringis nyeri. Sisa darah yang masih keluar di bersihkannya dengan kapas kemudian di tutup dengan handsaplas. Cekatan sekali dia melakukan itu. Kulihat di ujung lengan kanannya pun ada tempelan seperti itu. Hmm …Dia pendonor juga.
“Makasih ya” Mama mengamit lenganku berdiri.
“Sama-sama tante” dia tersenyum. Manis juga.
Aku dan Mama menuju ke ruang sebelah. Ruang makan. Rasanya aku sudah tidak sanggup mengangkat gelas susu, orang-orang terlihat seperti kerumunan semut lalu… gelap.
****
Sejak pertemuan tak sengaja pada kegiatan donor darah di wihara dua tahun lalu itu, ada banyak pertemuan-pertemuan tak sengaja yang lain antara aku dan Dion, dan itu membuat kami semakin dekat. Dia cowok dewasa yang sangat perduli kegiatan sosial. Dan yang paling penting dia membantuku sedikit demi sedikit meninggalkan status burukku, cewek manja.
Karena sikapnya yang sopan, Dion dengan sangat mudah memikat hati Mama dan Papa. Kakak-kakakku yang lain juga tidak banyak berkomentar. Yang sangat tidak berkeberatan dengan kedekatan kami tentu saja kak Ivan. Itu karena dia bisa lebih leluasa lagi meninggalkan ku dan ganti mengurus pacar barunya. Ada Dion yang selalu sedia menjemput ku ke wihara setiap minggu.
Aku kehilangan konsentrasi saat mengerjakan test akhir mata kuliah design pembelajaran karena Hp ku terus-menerus bergetar. Tampaknya penting. Dion calling. Tidak biasanya dia menelpon di jam kuliah seperti ini. Aku permisi keluar sebentar.
“Hallo selamat siang” suaranya terdengar begitu asing.
“Ya selamat siang”
“Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan, saya Dokter dari rumah sakit Sahabat Kasih… maaf saya sedang berbicara dengan siapa?”
Jantung ku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Rumah sakit. Ada apa sebenarnya.
“Saya Viana” jawabku cepat.
“Anda….?”
“Saya temannya Dion”
“Tolong anda segera ke rumah sakit, teman anda kecelakaan. Tolong hubungi keluarga pasien….”
Aku bahkan sudah tidak mendengar kelanjutan ucapan sang dokter… kecemasan luar biasa menghantuiku. Setelah menyelesaikan test dan menelpon keluarga Dion aku segera berangkat kerumah sakit. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang sangat buruk.
Tiba di sana, keluarga Dion sudah berkumpul. Mata-mata mereka tampak sembab. Serta-merta Mama Dion memelukku erat sampai aku merasa sesak nafas.
“Apa yang terjadi sebenarnya Tante… bagaimana keadaan Dion?” tanyaku bertubi-tubi. Tidak ada jawaban, justru tangisan tante Irma yang ku dengar makin keras. Aku berusaha menenangkan dengan memeluknya lembut, meskipun sebenarnya akupun tidak bisa tenang.
“Dion Vi…huuuuu”
“Sabar ya tante…. Dion pasti baik-baik saja”
Justru tangis tante Irma makin keras. Aku belum tahu kejadian sebenarnya dan bagaimana keadaan Dion sekarang.
Beberapa jam kemudian Dion mulai sadar dari pingsannya. Dia belum boleh bertemu dengan banyak orang, jadi aku masuk paling belakang. Menurut seorang saksi mata yang mengantar Dion ke rumah sakit, sepeda motor yang di kendarai Dion di hantam sebuah sedan yang menyalip minibus dari arah depan. Benturan keras terjadi dan menyebabkan Dion terlempar sebelum akhirnya membentur trotoar. Beruntung helm yang di kenakannya tidak terlepas sehingga kepalanya terlindungi. Tidak terlihat luka-luka yang berarti di sekujur tubuhnya, kecuali kaki kanannya yang nyaris remuk.
Ini kenyataan yang sangat sulit di terima. Aku berdiri mematung memandangi Dion yang terbujur lemah di atas ranjang rumah sakit. Aku bisa melihat kesakitan itu dari lipatan-lipatan samar di keningnya setiap kali dia berusaha menahan sakit. Tidak ada yang bisa kulakukan untuknya kecuali menyalurkan energi kasih yang mudah-mudahkan bisa membuatnya sedikit lebih baik.
Akhir-akhir ini Dion sangat sibuk. Selain tengah merampungkan skripsinya serta berbagai aktifitasnya sebagai seorang wartawan sebuah koran lokal, dia juga harus membagi waktu dengan kegiatan sosial keagamaan di wihara. Baru-baru ini dia terpilih sebagai koordinator pengumpulan dana bagi anak-anak kurang gizi di sebuah kecamatan di sudut lampung, dan itu menyita perhatiaanya. Kemarin aku baru mengingatkannya untuk tidak terlalu ngoyo karena itu bisa membahayakan kesehatannya. Ini bukan ngoyo Vi katanya berkilah, tapi kerja keras. Dia memang selalu begitu.
Jujur aku begitu mengagumi kepribadiannya yang kuat memegang prinsip. Hal itu pulalah yang membuat Mama dan Papa begitu percaya padanya. Sepanjang yang kukenal dia memang sangat bertanggung jawab. Tapi kini rasanya aku benar-benar tidak sanggup melihatnya kesakitan seperti ini.
“Kamu harus kuat…. Semuanya pasti baik-baik saja” kataku lirih menggenggam tangannya.
“Sakit sekali Vi…” dia mengeluh lagi. Demi tuhan aku belum pernah melihatnya mengeluh seperti ini sebelumnya.
“Aku tahu…tapi dokter sedang mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhanmu”
“Ya dan aku akan kehilangan sebelah kakiku”ujarnya mengejutkan.
“Apa?” jadi dia sudah tahu kemungkinan itu. Betapa terdengar sangat mengerikan berita ini.
“Kata dokter, tulang yang remuk ini akan membusuk dan menjalar sampai kelutut. Itu artinya kakiku harus segera di potong sebelum terjadi hal yang lebih buruk” kulihat dia memejamkan mata, menahan sakit dan kesedihan yang merejam. Tanpa dapat ku tahan lagi air mata ku menetes dan jatuh mengenai tangannya.
“Kamu menangis Vi…?” tanyanya membuka mata. Suaranya pelan. Aku memalingkan wajah. Tidak ingin dia melihat air mataku yang tiba-tiba membanjir seperti sungai.
“Kadang-kadang kenyataan memang pahit” katanya lirih. Aku terdiam, tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya.
“Ada begitu banyak orang yang akan menemanimu menghalau kepahitan itu” ujarku akhirnya. Dia diam, kembali memejamkan mata. dia belum bisa diajak berbicara terlalu banyak. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan doa.

****
Tidak ada pilihan lain. Kaki Dion memang akhirnya harus diamputasi agar luka itu tidak semakin menjalar. Bagaimanapun ini adalah pilihan yang sangat sulit. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya harus hidup hanya dengan satu kaki.
Aku mengunjunginya setiap hari selama dia dirawat di rumah sakit, bergantian dengan Mamanya menemaninya menghabiskan hari-hari yang mungkin terasa sangat panjang. Membawakan buku apa saja yang bisa di baca setiap dua hari sekali dan mendorong kursi rodanya ketaman setiap sore adalah aktifitas baruku.
Dia tengah termenung di depan jendela yang menghadap keluar ketika aku datang sore itu.
“ Sudah makan? Atau mau ku potongkan apel ya?”
Dia menoleh.
“Tidak terima kasih, aku masih kenyang” tolaknya. Aku berjalan menghampirinya.
“ Dari kampus langsung kesini Vi…?” tanyanya melihat diktat kuliahku di atas meja.
“Ya, kebetulan tadi ada kuliah tambahan jadi kupikir akan terlalu sore kalau aku pulang kerumah dulu”
“Harusnya kamu tidak perlu memaksakan diri kesini setiap hari kalau memang sedang sibuk. Di sini kan sudah ada Mama yang menemaniku. Lagi pula kalau toh Mama atau yang lainnya tidak ada di sini ada banyak perawat dan dokter yang akan menemaniku 24 jam. Kamu kelihatannya capek sekali” katanya.
Aku tertawa menyembunyikan keletihan, aku berusaha selalu memperlihatkan keceriaan di depannya.
“Kamu selalu saja sok tahu” kataku sambil memeluk bahunya. “siapa bilang aku capek? Aku sama sekali tidak merasa capek, lagi pula ada banyak kejadian hari ini yang ingin kuceritakan”
“Kamu selau pintar berpura-pura” balasnya memegang kedua tanganku. Sudah dua minggu Dion berada di rumah sakit ini. Keadaannya memang lebih baik tapi tubuhnya sedikit kurusan. Aku mendorong kursi rodanya menyusuri lorong rumah sakit menuju taman. Beberapa pasang mata yang berpapasan dengan kami menatap dengan tatapan aneh.
“ Kasihan sekali, kakinya terpaksa harus di amputasi karena kecelakaan. Masih muda lagi” tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka.
“Itu siapa? Istrinya?” ku dengar yang lainnya bertanya.
“Bukan . Pacarnya. Untung pacarnya setia. Kalau aku si mendingan cari yang lain aja. Lagian dia cantik banget. Apa susahnya cari cowok baru. Tidak banyak yang bisa di harapkan dari seorang lelaki cacat”
Aku menghembuskan napas berat mendengar pembicaraan mereka. Orang cacat selalu di pandang sebelah mata. Padahal tidak ada yang ingin menjadi cacat, kalau bukan karena keadaan. Dion sekarang cacat karena kakinya hanya sebelah, oh. Semoga aku akan tetap mencintainya.
Kudorong kursi roda itu lebih cepat. Sesak sekali rasanya mendengar pembicaraan mereka.
“Kurasa mereka benar Vi…” ujar Dion tiba-tiba. Aku duduk di kursi taman menghadap kearahnya.
“Apanya yang benar?”
“Kita tidak bisa selamanya seperti ini. Dan kamu tidak perlu terus-menerus berusaha bertahan dalam keadaan seperti ini”
“Aku benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan mu?”
“Aku sekarang cacat, cacat. Tidak banyak yang bisa di harapkan dari pemuda cacat sepertiku… jadi lebih baik kamu cari cowok lain”
Aku terkejut denga kata-katanya. Kurasa dia memang risih dengan ucapan orang-orang tadi.
“Kamu bicara apa si? Jangan memikirkan ucapan orang lain yang tidak berguna”
“Aku sungguh-sungguh, aku juga tidak terpengaruh ucapan orang-orang itu. Beberapa hari belakangan ini aku memikirkannya. Adalah salah kalau aku memaksamu tetap berada di dekat ku dengan keadaan seperti ini” dia berhenti.
“Honey kamu bicara apa sebenarnya? Aku tidak merasa terpaksa berada di sampingmu. Aku mencintaimu dan akan berada di sampingmu sampai kapanpun!”kataku keras.
“Kita memang saling mencintai, tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Kamu tahu kan cinta tidak harus memiliki, kenapa kita tidak membenarkan teori itu sekarang?”tanyanya, lalu lanjutnya ”Kamu tidak perlu merasa bersalah meninggalkanku. Toh kita masih bisa berteman. Aku bukannya rendah diri dengan keadaanku sekarang ini, tapi aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi besok” dia mengucapkan itu dengan sangat tenang. Tapi tetap bisa ku tangkap kepedihan dalam suaranya.
Aku benar-benar menangis kini.
“Kamu akan sembuh honey.. percayalah” kataku terisak.
“Aku memang akan sembuh tapi aku tetap akan hidup dengan satu kaki. Seumur hidupku..” katanya. Air mataku makin deras. “ aku tidak ingin kamu ikut terperangkap dalam penderitaan ku kalau kita tetap bersama. Jalanmu masih panjang Vi…”
“Ada banyak orang cacat di dunia ini yang hidup bahagia dengan keberhasilan mereka. Banyak hal yang bisa kamu lakukan meski hanya dengan satu kaki” ujarku berteori. “justru inilah saatnya kita memperlihatkan kekuatan kita pada orang-orang. Kita pasti bisa.” Kugenggam kedua tangannya. Aku benar-benar ingin meyakinkannya saat dia mulai rapuh.
“Kamu tidak malu berdampingan dengan pemuda cacat sepertiku?”
“Tolong jangan ucapkan kata-kata itu lagi. Itu hanya akan membuat kita tidak bisa menerima keadaan. Banyak hal harus tetap kita syukuri bagaimanapun keadaannya. Itukan yang selalu kamu ajarkan ke aku?”
Dia meyentuh keningku dan menyingkirkan poniku yang menutupi mata, lembut seperti biasa.” Ada banyak hal yang harus kita lakukan dan kita perjuangkan dalam hidup ini. Dan kita akan akan meraih mimpi-mimpi itu bersama”
Tanpa kami sadari sepasang mata mengamati kami dari kejauhan. Mata Mama Dion.
Hidup adalah perjalanan untuk mencapai satu tujuan. Dalam setiap perjalanan selalu di warnai banyak rintangan dan cobaan, keberhasilan menuju tujuan tergantung dari bagaimana kita menghadapi setiap rintangan yang menghadang. Perubahan dari ada menjadi tidak ada, dari sehat menjadi sakit, dari sempurna menjadi cacat, dari kaya menjadi miskin dan, dari terkenal menjadi tidak terkenal adalah realitas kehidupan yang dialami oleh setiap orang, tidak perduli bagaimanapun keadannya. Inilah Anicca. END
****

Walaupun seseorang masih muda dan kuat, namun bila ia malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang serta berpikir lamban maka orang yang malas dan lamban seperti itu tidak akan menemukan jalan yang mengantarnya pada kebijaksanaan. (Dhammapada 280)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar