Jumat, 30 Juli 2010

cerpen

SEBENING KASIH

Seringai angin mengecam dunia pagi buta
Membangunkan tiap helaan nafas hitam
Yang Membujur di balik tenda-tenda di bawah langit
Rapuh dan lemah
****

Tidak ada yang pernah tahu secara pasti arah perjalanan hidup manusia. Semua yang sebelumnya tampak baik-baik saja bisa berubah seratus delapan puluh derajat, sebaliknya keadaan yang sebelumnya tampak sangat buruk dapat berubah sangat menyenangkan dan membuat hati orang –orang yang terlibat di dalamnya di penuhi bunga kebahagiaan. Kehidupan tidaklah pasti, yang pasti adalah perubahan.
Kadangkala, ketidakmampuan menghadapi perubahan membuat orang stres, depresi bahkan gila. Itulah yang hampir menimpa keluargaku. Semua bermula di suatu pagi yang suram.
Pagi itu Kak Santi pulang ke rumah dengan di antar beberapa orang petugas keamanan desa. Biasanya kepulangan kak Santi kerumah selalu menjadi hal yang kami tunggu-tunggu. Maklum bagi kami sekeluarga kepulangan kak Santi berarti mengantar berkah, apalagi di saat seperti sekarang ini ketika keadaan kesehatan Ayah semakin memburuk dari hari kehari.
Yang membuat kami tercengang adalah kepulangan kak Santi dalam keadaan yang tidak biasa. Jalannya sempoyongan, rambutnya berantakan dan keadaan pakaiannya benar-benar tidak karuan. Beberapa petugas keamanan desa yang mengantarkannya tidak ada yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
“Maaf bu, saya menemukannya di depan kontrakan kosong di dekat pasar. Saya tidak tahu apa yang sudah terjadi. Dia juga tidak menjawab ketika saya tanya. Karena takut terjadi sesuatu yang lebih buruk saya memanggil beberapa rekan dan kami kemudian mengantarkannya ke sini” jelas petugas yang berkumis.
“Saya rasa dia baru saja mengalami sesuatu yang buruk sehingga membuat dia tampak shock dan tidak bisa di ajak bicara”
“Apa sebenarnya yang terjadi nak, bicaralah agar kami tahu” Ibu terisak memeluk tubuh kak Santi yang lungai. Kak Santi tetap diam.
“Kita sebaiknya segera melapor pada yang berwajib Bu agar kasus ini segera di tangani” usul para petugas keamanan tersebut. Kami setuju, namun sayang Polisi tidak banyak membantu kami, karena para pelaku kejahatan tampaknya sudah benar-benar tidak meninggalkan jejak. Kami kemudian memutuskan kasus ini segera di hentikan. Di tengah kondisi keluarga yang sudah tidak karuan begini rasanya percuma mencari pelaku kejahatan itu. Kami harus lebih fokus merawat Ayah dan tentu saja kak Santi.
Yang kemudian jelas adalah seluruh uang dan perhiasan hasil kerja kak Santi dari Jakarta habis di jarah para penjahat, tidak puas sampai di situ kemudian kak Santi di perkosa dan di tinggalkan di sebuah kontrakan kosong. Tidak jelas kejahatan itu di lakukan dimana karena hingga kini kak Santi tidak bisa diajak bicara sama sekali. Dia hanya diam dan diam.
Sebelum ini, kak Santi adalah tulang punggung keluarga, terutama setelah Ayah sakit-sakitan. Setamat SMA, karena kesulitan keuangan kak Santi tidak melanjutkan kuliah tapi kemudian memilih bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Berkat kejujuran dan kedisiplinannya, posisi kak Santi di tempat kerja semakin baik. Dan itu artinya gajinya pun semakin lumayan. Setiap bulan kak Santi mengirimkan gajinya kerumah untuk biaya sekolahku dan biaya berobat Ayah. Kak Santi adalah anak yang sangat berbakti, aku begitu menghormati dan menyayanginya.
Aku teringat kejadian dua tahun lalu. Ketika itu kak Novan, pemuda yang selama ini mendekati kak Santi berniat melamarnya dan ingin segera mengajaknya menikah, tampaknya kak Santi pun menyukai kak Novan. Sebenarnya Ayah dan Ibu merestui hubungan mereka. Waktu itu Ayah mulai sakit-sakitan sehingga tidak lagi bisa bekerja. Di luar dugaan kami semua, ternyata kak Santi menolak lamaran itu. Sebuah penolakan halus.
“Dia pemuda yang baik dan sepertinya bertanggung jawab, mengapa kamu menolaknya nak, huk… huk?” Ayah bertanya sambil terbatuk batuk.
“Dia memang pemuda yang baik yah, tapi Santi belum siap berumah tangga”
“Umurmu sudah cukup untuk berumah tangga, kamu sudah terlalu lama bekerja” Ibu menyela. Umur kak Santi 25 tahun ketika itu dan aku duduk di tahun pertama di SMA.
“Ayah tidak bisa menjamin akan ada lagi lelaki yang lebih baik dari dia yang akan datang melamarmu…”ujar Ayah lagi.
“Ayah jangan berkata seperti itu, Santi pasti akan menemukan jodoh yang lebih baik nanti bila waktunya sudah tepat. Santi mohon doa dari Ayah dan Ibu”
“Ayah dan Ibu selau mendoakan, tapi kami ingin kamu hidup bahagia. Kami tidak bisa memberikan kebahagiaan yang lebih. Kamu tahu kan keadaan orang tuamu seperti apa sekarang ini?”
Dari balik pintu kulihat kak Santi memeluk Ayah dan Ibu bergantian.
“Santi sangat berbahagia dengan keaadaan ini Ayah, Ibu. Santi ingin melakukan hal yang lebih banyak lagi untuk keluarga ini. Ayah dan Ibu tidak perlu mencemaskan Santi.”
Di antara helaan nafasnya yang berat, secercah senyum menghiasi wajah letih Ayah. Ibu menahan air matanya yang mulai merembes diiringi sebuah kelegaan samar.
Aku memeluk kak Santi dari belakang saat aku masuk kekamarnya dan kudapati dia tengah termenung.
“Ih kamu bikin kakak kaget aja, masuk kamar kok tidak permisi” dia menggerutu kecil menutupi rasa kagetnya.
“Hayo lagi melamun apa, kok kaget banget gitu, hayo….”
“Kamu sok tahu banget” dia menjitak rambutku pelan” siapa yang melamun?”
“Kakak tidak mungkin kaget begitu kalau tidak sedang melamun” godaku lagi.
“He di bilangin kok gak percaya, maksa banget jadi orang. Pengen tahu aja urusan orang, kayak pembokat aja loe” kak Santi ganti meledekku.
Aku melotot. Jengkel, lalu “Eh kak, bukannya kakak suka sama kak Novan ya?”
“Suka, emang kenapa kamu tiba-tiba tanya soal dia?”
“ Kakak suka tapi kok kakak tolak lamarannya?”
“Lho suka kan tidak berarti harus jadi istrinya”
“ Trus apa donk? Cuma suka aja? Dia itu baik lho kak, kakak tidak di sini saja dia masih sering kesini nganter aku cari buku. Dia cakep lagi”
“Dasar anak kecil, cakep saja yang di pikir. Dia memang baik tapi kakak belum siap menikah dan meninggalkan kalian semua. Ayah, Ibu, kamu, rumah ini”
“Tapi kakak kan tetap masih bisa kesini sekali-sekali meskipun sudah menikah”
“Iya kakak tahu, tapi rumah ini masih membutuhkan kakak. Kamu tahu kan Ayah mulai sakit-sakitan?” kak Santi menghadap kearah ku. Wajahnya berubah menjadi sangat serius. “gaji Ibu tidak akan cukup untuk biaya pengobatan Ayah dan biaya sekolah kamu, trus bagaimana dengan kebutuhan hidup sehari-hari kalau kakak pergi ikut suami dan tidak lagi bisa membantu keluarga ini. Ibu pasti akan sangat kesulitan” sampai di situ kak Santi berhenti.
“Tapi kakak kan masih tetap bisa membantu kami walau pun sudah menikah, lagi pula kak Novan juga kan bekerja, dia pasti mau membantu kita. Bukankah dengan begitu bantuan yang kakak berikan akan lebih besar?” tanya ku polos.
“Septi sayang, orang berumah tangga itu rumit, yang harus di urus banyak. Setelah menikah dan tidak lagi tinggal bersama kalian kakak tidak akan bisa membantu Ibu seperti sekarang. Kakak akan sibuk dengan keluarga kakak yang baru, mengurus anak-anak, memperhatikan mertua, belum lagi adik-adik suami kakak. Penghasilan sebanyak apapun pasti lebih dulu akan di gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Orang tua dan adik mungkin akan terabaikan. Kakak tidak ingin semua itu terjadi”
Kemudian kak santi melanjutkan, “Sebagaian besar hidup Ayah dan Ibu di habiskan untuk merawat kita anak-anaknya. Mereka bekerja keras sepanjang waktu untuk membiayai hidup kita. Dan setelah dewasa kita meninggalkan mereka begitu saja. Mungkin mereka sedih dan kehilangan dengan kepergian anaknya. Tapi mereka tidak pernah memperlihatkan sedikitpun kesedihan itu, mereka hanya ingin melihat kita bahagia. Sekarang ini selagi mampu kakak ingin membantu meringankan beban Ayah dan Ibu. Kamu harus sekolah dan belajar dengan baik agar tidak membuat Ayah dan Ibu kecewa, ya?”
“Apakah dengan begitu kakak akan terus bekerja dan tidak akan pernah menikah?”
“Tentu saja kakak akan menikah. Setelah kamu lulus sekolah dan bisa mandiri sehingga tidak lagi bergantung pada Ayah dan Ibu. Kamu sekolah yang bener ya? Kakak akan bekerja lebih keras lagi supaya kamu bisa kuliah. Dengan kuliah kamu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Itu artinya kamu bisa lebih membahagiakan Ayah dan Ibu”
Air mata ku menetes, aku sungguh terharu dan merasa sangat beruntung memiliki kakak sebaik kak Santi. Dia begitu dewasa.
****
Penderitaan menimpa keluarga kami bertubi-tubi. Mungkin karena kesedihan mendalam atas kejadian yang dialami kak Santi atau juga karena penyakit yang terus-menerus menggerogoti tubuhnya yang makin mengurus, Ayah pergi meninggalkan kami semua di suatu malam yang tenang. Tanpa pamit atau memberikan pesan apapun.
Kepergian Ayah merupakan pukulan yang telak bagi aku dan Ibu, kak Santi sepertinya sudah tidak bisa merasakan apapun. Bahkan menangis pun tidak. Tatapannya kosong saja melihat Ayah di bawa ke tempat peristirahatan terakhir. Air mata Ibu seperti sepasang sungai yang mengalir tiada henti. Aku meskipun sangat terpukul dengan kepergian Ayah, sekuat tenaga berusaha menahan diri untuk tidak menangis, meskipun toh akhirnya pecah juga. Perpisahan di saat seperti ini terasa sangat menikam. Pedih tak terkira.
Hari-hari selanjutnya terasa merayap bagai semut. Ibu kembali bekerja sebagai pemasang kancing baju di sebuah perusahaan konveksi di kecamatan kecil ini. Aku melanjutkan sekolah dan mengajar les untuk anak-anak SD sebagai sumber tambahan untuk membayar uang sekolah. Kami harus berjuang lebih keras lagi. Tidak ada lagi yang membantu kami.
Selain sekolah dengan lebih tekun dan memberi les anak-anak, aku harus pulang lebih cepat. Kak Santi selalu menunggu sendirian di rumah. Ya sendirian... Sayangnya kak Santi ku yang dulu telah berubah, tidak ada lagi sosok kak Santi yang cantik, lembut, ceria dan selalu menjadi tumpuan seisi rumah. kak Santi ku kini menjadi orang lain yang benar-benar asing.
Aku membawa nampan berisi sepiring nasi dan segelas air kekamar kak Santi. Seperti biasa dia tengah termenung di pojok kamar. Tatapannya kosong, wajahnya pucat dan rambutnya berantakan. Dia sama sekali tidak memperdulikan kehadiranku.
“ Kak makan dulu ya” kusentuh pundaknya. Dia tak bereaksi. “Kak makan dulu nanti kakak sakit, Septi masak bacem kesukaan kakak” aku menyodorkan sesendok nasi kedepan mulutnya. Kak Santi sedikitpun tak menggubris, dia asyik dengan dunianya sendiri yang tak ku mengerti. Entah sampai kapan keadaan seperti ini akan berakhir. Tidak ada yang pernah tahu. Kuletakkan piring di meja dan kupeluk kak Santi dengan sedih.
“Bagaimanapun keadaan kakak sekarang ini, kakak tetaplah kak Santi yang Septi sayangi, sampai kapanpun” bisikku di telinganya. END.

Ada dua hal yang tidak bisa di tunda dalam kehidupan ini: berbakti pada orang tua dan melakukan kebajikan (bhiksuni Cheng Yen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar